Sya'ir Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Yang terjemahannya sebagai berikut:
Penguasa dua dunia
Syeikh Abdul Qadir Jailani
Pemimpin keturunan anak Adam
Syeikh Abdul Qadir Jailani
Matahari, bulan,
Arsy, Kursi dan Pena
Berada di bawah Syeikh Abdul Qadir Jailani
Dipuji Ibnu Taimiyah
Ia
adalah Abdul Qadir bin Abu Shalih Musa Janki Dausat bin Abu Abdullah
bin Yahya Az-Zahid bin muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdullah bin Musa
Al-Jun bin Abdullah Al-Mahadh. Adapun nama “Jailani” yang disematkan di
akhir namanya karena ia berasal dari negeri Jailan, yaitu negeri yang
terpencil di belakang Thabrastan, yang dikenal dengan Kail atau Kailan.
Blahir pada tahun 471 Hijriah, di mana pada zaman tersebut juga
lahir ulama-ulama besar seperti Imam Al-Jauzi, Syeikh Abdullah bin Ahmad
bin Qadamah, Syeikh Abu Umar bin Shalah, Syeikh Al-Mundziri, dan Syeikh
Abu Samah. Maka tidak mengherankan jika Abdul Qadir Jailani kecil
tumeliau buh menjadi ulama besar di zamannya dan memiliki pengaruh yang
luas.
Bukti bahwa ia ulama besar adalah banyaknya ulama yang memberikan
pujian kepadanya, kitab-kitabnya yang masih dipelajari sampai sekarang,
serta banyaknya murid-muridnya yang menjadi ulama.
Sebagai contoh, di antara ulama yang memberikan pujian kepadanya adalah Ibnu Taimiyah.
Dalam
Fatawa Ibnu Taimiyah, beliau berkata, “Syeikh Abdul
Qadir Jailani dan semisalnya merupakan Syeikh terbesar di masa mereka
dalam hal berpegang kepada syariat, menyuruh kepada yang baik, mencegah
dari yang mungkar, mendahulukannya daripada rasa dan takdir, serta
termasuk Syeikh terbesar untuk meninggalkan dorongan hawa nafsu”.
Akidah Ahlussunah Wal Jama'ah
Sebagaimana
diterangkan di atas, bahwa tidak sedikit orang yang mengkultuskannya
hingga nyaris mensejajarkan bahkan lebih tinggi dari nabi. Maka dari
itu, penting kiranya kita mengenal manhajnya dalam menjelaskan dan
menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya, khusunya masalah akidah.
Dari buku-buku yang dikarangnya, dapat diketahui bahwa ketika Syeikh
Abdul Qadir Jailani berbicara tentang akidah, maka dia tidak pernah
keluar dari
madlul (apa yang ditunjukkan) oleh Al-Quran dan
hadits nabi. Hal ini ditunjukkan oleh perkatannya ketika menetapkan
nama-nama dan sifat Allah Subhanahu Wata’ala. “Kami tidak keluar dari
Al-Kitab dan As-Sunnah, kami baca ayat dan hadits, dan kami beriman
kepada keduanya. Kami serahkan kepada Allah tentang bagaimana sifat itu
kepada ilmu Allah”. Ia juga berkata, “Kami berlindung kepada Allah
Subhanahu Wata’ala dari mengatakan tentang-Nya dan tentang
sifat-sifat-Nya dengan perkataan yang tidak diberitakan Allah Subhanahu
Wata’ala atau Rasul-Nya kepada kita” (
Al-Ghinyah Lithalib al-haq Azza wa Jalla, hal.
56). Dari sini dapat kita pahami bahwa metode yang ditempuhnya adalah
metode yang ditempuh adalah manhaj
Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Pun, ketika menjelaskan tentang
keimanan, tauhid, kenabian, hari akhir, dan
bid’ah misalnya; ia tidak berbeda dengan akidah Ahlus Sunnah
wal jama’ah.
Dalam hal keimanan, misalnya, Syeikh Abdul Qadir Jailani sepakat
dengan ahussunnah wal jama’ah yang memberi makna iman sebagai perkataan
dan perbuatan, yaitu perkataan dengan lisan dan perbuatan dengan hati
dan anggota badan. Ia berkata, “Kami yakin bahwa iman adalah pernyataan
dengan lisan, pengetahuan dengan hati dan perbuatan dengan anggota
badan” (
Al-Ghinyah, I, 62). Begitu pula dengan hal-hal lain
seperti berkurang dan bertambahnya iman, Islam dan iman itu berbeda,
serta tidak kafirnya orang yang melakukan dosa besar, melainkan fasik.
Terkait yang disebut terakhir, Syeikh Abdul Qadir Jailani
berkata,”Kami yakin bahwa orang yang oleh Allah Subhanahu Wata’ala
dimasukkan ke dalam neraka karena dosa besarnya, tidak abadi di
dalamnya, tetapi dia akan dikeluarkan darinya karena baginya neraka
hanya seperti penjara di dunia, yang dijalaninya berdasarkan dosa dan
kesalahannya. Ia juga berkata, “Walaupun mempunyai banyak dosa, baik
dosa besar ataupun kecil, ia tidak kafir karenanya” (
Al-Ghinayah, I, 65). Tentu hal ini jauh berbeda dengan kelompok selain Ahlus Sunnah seperti Khawarij, Mu’tazilah, dan Murji’ah.
Maka tidak mengherankan jika Syeikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali
menegaskan bahwa akidah Syeikh Abdul Qadir Jailani selaras dengan akidah
Ahlus Sunnah dan penentang kelompok-kelompok yang menyimpang. Ia
berkata dalam kitabnya, Al Haddul Fashil, hal.136, “Aku telah
mempelajari akidah Syeikh Abdul Qadir Al Jailani di dalam kitabnya,
Al-Ghunyah. Ia menetapkan nama-nama dan sifat-sifat Allah dan
akidah-akidah lainnya di atas manhaj Salaf. Ia juga membantah
kelompok-kelompok Syi'ah, Rafidhah, Jahmiyyah, Jabariyyah, Salimiyah,
dan kelompok lainnya dengan manhaj Salaf."
Selain itu, sebagaimana ulamaahussunnah lainnya, Syeikh Abdul Qadir
jailani adalah ulama yang sangat tegas dalam masalah tauhid dan
mewanti-wanti para muridnya agar bertauhid dan tidak berbuat syirik. Ia
berkata, “Bertauhidlah dan janganlah berbuat syirik” (
Futuh Al-Ghaib, hal.
10). Ia juga berkata, “Berbuat ikhlaslah, janganlah kalian berbuat
syirik, esakanlah Allah subhaanahu wata’alaa, dan janganlah menyelinap
dari pintu-Nya. Mintalah kepada-Nya dan jangan meminta kepada
selain-Nya. Mintalah pertolongan kepada-Nya dan jangan meminta kepada
selain-Nya. Bertawakkallah kepada-Nya dan janganlah bertawakkal kepada
selain-Nya”. (
Al-Fath Ar-Rabbani). Ketika menyikapi kasus
Al-Hallaj pun, dia sangat tegas. Ia berkata, “Barangsiapa yang
berkeyakinan seperti keyakinan Al-Hallaj dengan perkataan-perkataan yang
karenanya Al-Hallaj dibunuh (dieksekusi), maka dia adalah kafir murtad
menurut kesepakatan kaum Muslimin. Orang-orang Islam mengeksekusinya
karena dia berkeyakinan tentang hulul, wihdatul wujud,
perkataan-perkatan yang zindik dan keyakinan-keyakinan yang kafir
lainnya”.
Karamah Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani
Syeikh
Abdul Qadir Jailani dikenal memiliki banyak keutamaan dan karamah. Hal
itu bisa diketahui dari kitab-kitab yang membahas profilnya. Beberapa
ulama seperti Imam Adz-Dzahabi, Ibnu Rajab, Ibnu Ma’ad, dan lain-lain
mengakui hal itu. Imam Adz-Dzahabi, misalnya, berkata dalam Siyar A’laam
An-Nubala’, “Ia (Abdul Qadir Jailani) memiliki banyak karamah yang
jelas”. Ibnu Rajab juga berkata, Ia adalah guru di masanya, teladan
orang-orang yang ma’rifat, pemimpin para Syeikh, pemilik maqam dam
karamah” (Ibnu Rajab, Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).
Akan tetapi, tidak sedikit orang-orang yang menceritakan kejadian
aneh yang dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani, padahal ditolak
syariat dan diingkari akal. Orang yang paling banyak mengumpulkan
kejadian-kejadian aneh yang dialami Syeikh Abdul Qadir Jailani adalah
Ali bin Yusuf Asy-Syathnufi dalam bukunya
Bahjatu Al-Asraar wa Ma’dinu
Al-Anwar fi Ba’di Manaqib Al-Quthb Ar-Rabbani Abdul Qadir jailani.
Para ulama telah mengingkari tulisan Asy-Syathnufi ini. Salah satunya
adalah Ibnu Rajab. Ia berkata, “Cukuplah seorang itu berdusta, jika dia
menceritakan yang dia dengar. Aku telah melihat sebagian kitab ini,
tetapi hatiku tidak tentram untuk berpegang dengannya, sehingga aku
tidak meriwayatkan apa yang ada di dalamnya. Kecuali kisah-kisah yang
telah masyhur dan terkenal dari selain kitab ini. Karena kitab ini
banyak berisi riwayat dari orang-orang yang tidak dikenal. Di dalamnya
juga terdapat perkataan aneh, perilaku aneh, anggapan sesat dan
perkataan batil yang tidak pantas untuk dinisbatkan kepada seseorang
sekaliber Syeikh Abdul Jailani Rahimahullah.” (Ibnu Rajab,
Zail Thabaqaat Al-Hanabilah, I, 290).
Untuk menguatkan pembahasan ini, penting kiranya kita memperhatikan
salah satu cerita di kitab Asy-Syathfuni tersebut. Diceritakan, Syeikh
Abdul Qadir Jailani berkumpul dengan para guru sufi. Tiba-tiba ia
berkata, “Telapak kakiku ini berada di atas leher setiap waliyullah”.
Lalu berdirilah Syeikh Ali Al-Haitsi naik di atas kursi. Tiba-tiba
telapak kaki Syeikh Abdul Qadir Jailani naik dan diletakkan di atas
lehernya. Orang-orang yang hadir pun semuanya menjulurkan leher mereka.
Ungkapan Syeikh Abdul Qadir Jailani di atas bermakna ia meninggikan
diri-sendiri, serta merendahkan dan menginakan orang lain. Padahal, ia
dikenal tawadhu’ dan tidak sombong. Hal ini dikuatkan oleh perkataannya
ketika ditanya, “darimana dia”, ia menjawab, “Seorang ahli fikih dari
Jailan”. Dan di antara ajaran Syeikh Jailani adalah perkatannya, “Jangan
meminta kemuliaan dan kebesaran untuk diri-sendiri”, seraya menyebut
firman Allah, “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang
tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. Dan
kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa,”
(Al-Qashas: 83)
Jadi, Syeikh Abdul Qadir Jailani memang memiliki banyak keutamaan dan
karamah. Hanya saja, para murid dan pengikutnya banyak yang
melebih-lebihkan dengan cara meriwayatkan cerita-cerita tentangnya.
Kedudukannya sama dengan ulama lainnya yang juga memiliki keutamaan dan
karamah dari Allah, tidak lebih.
Sumber: hidayatullah.com